Jupitter News _ Adalah Saidi, seorang remaja berusia delapan belas tahun. Ia merupakan satu dari sekian banyak orang yang – menurut pandangan kebanyakan orang, kurang beruntung nasibnya. Pasalnya, sejak kecil ia tumbuh dan berkembang di lingkungan pemulung. Tumpukan sampah sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Sosok Saidi kukenal empat tahun yang lalu. Waktu itu aku mendapat kesempatan untuk hidup bersama para pemulung selama satu minggu di TPA Kampung Sawah, Cilincing, Jakarta Utara. Memang, daerah merupakan sisi lain dari daerah metropolit, yang merupakan pusat dari negri ini. Bagiku yang sudah ’dibiasakan’ hidup enak (patut dicatat di sini bahwa pada sisi tertentu hidup membiara merupakan hidup yang enak), amat sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu.
Dari sisi kebersihan, akan sangat sulit untuk hidup di antara tumpukan sampah yang begitu kotor. Lalat menjadi teman berbagi makanan setiap kali menikmati santapan. Mulai senja hari, siap-siap saja untuk menjadi donor darah sukarela karena nyamuk sudah siap menanti. Belum lagi keruhnya air yang ada. Sulit untuk membayangkan dapat bertahan hidup di tempat seperti ini.
Namun tidak demikian bagi Saidi (dan mungkin juga bagi Saidi-Saidi yang lain di tempat itu). Sejak perjumpaanku pertama kali dengannya, Saidi banyak memberi arti hidup yang begitu penting dan indah. Setidaknya aku bisa belajar untuk memiliki asa di tengah hidup yang begitu sulit itu.
Dalam diri Saidi tak terbersit sebuah keraguan dalam menjalani hidup. Gambaran penderitaan yang acapkali diberikan oleh orang-orang tentang kehidupan para pemulung, tidak kutemukan dalam diri Saidi. Semua gambaran tentang penderitaan hidup para pemulung yang sempat tertanam dalam diriku, seakan runtuh ketika berhadapan langsung dengan hidup mereka. Sekali lagi, Saidi menjadi sosok yang turut meruntuhkan a priori-ku.
Mengapa Saidi? Ada apa dengan Saidi? Mungkin Anda bertanya-tanya, karena sejak awal aku memang belum menyebutkan alasan mengapa memilih Saidi. Dari pagi sampai menjelang malam, ia bergelut bersama orang-orang seprofesinya di tengah hamparan sampah yang membentang. Ia mengais dan mengumpulkan sisa-sisa kehidupan metropolitan. Setiap sampah merupakan rejeki bagi dirinya, yang dapat ditukarkan dengan rupiah untuk menyambung hidup.
Satu hal berikut yang begitu mengesan bagiku. Setiap kali bekerja, Saidi selalu menampakkan wajah ceria. Tak terbersit sebuah duka dalam dirinya di tengah beratnya beban hidup sebagai seorang pemulung. Dengan suaranya yang pas-pasan, ia mencoba untuk menghibur diri dengan lagu-lagu yang pernah di dengarnya. Orang lain yang berada di sekitarnya pun terhibur pula.
Aku masih ingat salah satu lagu favorit yang senantiasa didendangkannya. ”Usaha molak-malik...!!” Dengan caranya ini, Saidi berusaha untuk tetap tegar menghadapi situasi hidup yang sulit. Senandungnya senantiasa menggema dalam hidup. Orang lain pun ikut tersenyum mendengar senandungnya. Sikap hidupnya pun turut memberi arti bagi orang lain yang melihatnya.
Bagiku, Saidi memberi contoh untuk dalam menanamkan secercah harapan dalam hidup kendati berada dalam situasi hidup yang kurang menguntungkan dan sulit. Memang ini sesuatu yang sulit untuk ditanamkan. Namun bukan berarti mustahil untuk dicapai. Sosok Saidi telah membuktikannya.
Sosok Saidi kukenal empat tahun yang lalu. Waktu itu aku mendapat kesempatan untuk hidup bersama para pemulung selama satu minggu di TPA Kampung Sawah, Cilincing, Jakarta Utara. Memang, daerah merupakan sisi lain dari daerah metropolit, yang merupakan pusat dari negri ini. Bagiku yang sudah ’dibiasakan’ hidup enak (patut dicatat di sini bahwa pada sisi tertentu hidup membiara merupakan hidup yang enak), amat sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu.
Dari sisi kebersihan, akan sangat sulit untuk hidup di antara tumpukan sampah yang begitu kotor. Lalat menjadi teman berbagi makanan setiap kali menikmati santapan. Mulai senja hari, siap-siap saja untuk menjadi donor darah sukarela karena nyamuk sudah siap menanti. Belum lagi keruhnya air yang ada. Sulit untuk membayangkan dapat bertahan hidup di tempat seperti ini.
Namun tidak demikian bagi Saidi (dan mungkin juga bagi Saidi-Saidi yang lain di tempat itu). Sejak perjumpaanku pertama kali dengannya, Saidi banyak memberi arti hidup yang begitu penting dan indah. Setidaknya aku bisa belajar untuk memiliki asa di tengah hidup yang begitu sulit itu.
Dalam diri Saidi tak terbersit sebuah keraguan dalam menjalani hidup. Gambaran penderitaan yang acapkali diberikan oleh orang-orang tentang kehidupan para pemulung, tidak kutemukan dalam diri Saidi. Semua gambaran tentang penderitaan hidup para pemulung yang sempat tertanam dalam diriku, seakan runtuh ketika berhadapan langsung dengan hidup mereka. Sekali lagi, Saidi menjadi sosok yang turut meruntuhkan a priori-ku.
Mengapa Saidi? Ada apa dengan Saidi? Mungkin Anda bertanya-tanya, karena sejak awal aku memang belum menyebutkan alasan mengapa memilih Saidi. Dari pagi sampai menjelang malam, ia bergelut bersama orang-orang seprofesinya di tengah hamparan sampah yang membentang. Ia mengais dan mengumpulkan sisa-sisa kehidupan metropolitan. Setiap sampah merupakan rejeki bagi dirinya, yang dapat ditukarkan dengan rupiah untuk menyambung hidup.
Satu hal berikut yang begitu mengesan bagiku. Setiap kali bekerja, Saidi selalu menampakkan wajah ceria. Tak terbersit sebuah duka dalam dirinya di tengah beratnya beban hidup sebagai seorang pemulung. Dengan suaranya yang pas-pasan, ia mencoba untuk menghibur diri dengan lagu-lagu yang pernah di dengarnya. Orang lain yang berada di sekitarnya pun terhibur pula.
Aku masih ingat salah satu lagu favorit yang senantiasa didendangkannya. ”Usaha molak-malik...!!” Dengan caranya ini, Saidi berusaha untuk tetap tegar menghadapi situasi hidup yang sulit. Senandungnya senantiasa menggema dalam hidup. Orang lain pun ikut tersenyum mendengar senandungnya. Sikap hidupnya pun turut memberi arti bagi orang lain yang melihatnya.
Bagiku, Saidi memberi contoh untuk dalam menanamkan secercah harapan dalam hidup kendati berada dalam situasi hidup yang kurang menguntungkan dan sulit. Memang ini sesuatu yang sulit untuk ditanamkan. Namun bukan berarti mustahil untuk dicapai. Sosok Saidi telah membuktikannya.
Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://images.ssigitpscj.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar