Halaman Utama

Tampilkan postingan dengan label Budaya Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya Indonesia. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juni 2012

Penemuan Piramida Garut Yang Lebih Tua dari Piramida Mesir



Jupitter News



piramida garut

Tim Katastropik Purba menemukan fakta mengagetkan sehubungan dengan misteri piramida Garut, Jawa Barat. Dari hasil penelitian intensif dan uji karbon dipastikan bahwa umur bangunan yang terpendam dalam gunung wilayah Garut lebih tua dari Piramida Giza yang berada di Mesir.

Tim Katastropik Purba sebelumnya telah melakukan penelitian intensif atas dugaan adanya bangunan berbentuk piramida di Desa Sadahurip, dekat Wanaraja, Garut, Jawa Barat.

"Dari beberapa gunung yang di dalamnya ada bangunan menyerupai piramid, setelah diteliti secara intensif dan uji carbon dating, dipastikan umurnya lebih tua dari Piramida Giza," terang Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, dalam keterangan tertulis pada 20 November 2011.

Sekadar catatan, Piramida Giza selama ini dikenal sebagai piramida tertua dan terbesar dari 3 piramida yang ada di Nekropolis Giza. Piramida ini diyakini sebagai makam Firaun, Dinasti keempat Mesir, Khufu, yang dibangun selama lebih dari 20 tahun pada kurun waktu sekitar tahun 2560 sebelum Masehi.

Temuan Mencengangkan

Dalam beberapa waktu ke depan, lanjut Andi, Tim Katastropik Purba akan melakukan paparan publik tentang temuan-temuannya tersebut. Tak hanya soal temuan piramida di Garut tersebut, tim ini nantinya juga akan memaparkan temuan istimewa di kawasan Trowulan, Batu Jaya, beberapa lokasi menhir di Sumatera dan lain-lain.

"Ada temuan mencengangkan tentang uji carbon dating pada 3 lapis kebudayaan di kawasan Trowulan yang terlanjur kita sebut Majapahit pada zaman sejarah masehi itu. Juga tentang temuan-temuan lapisan sejarah di Lamri, Aceh, dan sekitarnya," terang Andi.

Atas temuan ini, sambungnya, Tim Katastropik Purba akan terus berkoordinasi lintas ilmu kebumian sehubungan dengan temuan-temuan sejarah bencana-bencana lokal dan global untuk dicari mitigasinya.

Tim tersebut juga akan terus berkoordinasi dengan bidang kepurbakalaan, antropologi, arkeologi, pakar budaya, ahli sejarah dan lainnya.






Sumber ::
http://www.indospiritual.com/artikel_heboh-penemuan-piramida-garut-yang-lebih-tua-dari-piramida-mesir.html


jupitter.blogspot.com/


Sabtu, 03 Desember 2011

Melirik Kerajaan Majapahit di Masa Kini


Jupitter News _ Situs Trowulan merupakan satu”nya situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Situs yang luasnya 11 KM x 9 KM, cakupannya meliputi wilayah kecamatan Trowulan dan Sooko di Kabupaten Mojokerto serta kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Di daerah ini banyak pengrajin arca” dan kerajinan dari batu, yang hasilnya nyaris tidak bisa dibedakan dengan yang asli. Tapi sangat disayangkan, beberapa pengrajin sangat keberatan utk diambil gambarnya.
Peradaban Majapahit bukanlah sebuah legenda, sosoknya ditopang oleh bukti” otentik arkeologis yang tertinggal dari jamannya. Setiap peninggalan kebesaran Majapahit mengandung nilai historis dan ilmu pengetahuan.


Situs bekas kota Kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yg merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung; Penangungan, Welirang dan Anjasmara


Gapura Wringin Lawang

Terletak di desa Jatipasar, kec Trowulan, kab Mojokerto. Terbuat dari Bata, Kecuali bagian anak tangganya terbuat dari Batu. Bentuk gapura adalah candi bentar (candi terbelah dua) dengan denah empat segi panjang berukuran panjang 13 m lebar 11,5 m sementara tinggi bangunan 15.50 m dan orientasi bangunan mengarah timur-Barat. Jarak antara 2 bagian gapura selebar 3.5 M. Dihiasi taman yang indah. dan lokasi yang sejuk. Kata penjaga” Diyakini ini adalah gerbang dari suatu kompleks atau merupakan gerbang dari kerajaan Majapahit itu sendiri. Dipersilakan bagi teman” Kaskuser utk mengadakan acara di tempat ini.
Banyak fenomena dan keunikan yang kami alamai selama menelusuri Majapahit ini.



Taman yang Asri



Bentuk Candi Bentar..



Bentuk susunan Bata tanpa perekeat.
Menurut penjaga cara melekatkan bata ini ada dua cara:
1. Dengan digosok antara dua bata tersebut sampai berhenti.
2. Memakai putih telur.
Ini masih menjadi penelitian….




Kolam Segaran

merupakan salah satu dari 32 waduk/kolam kuno Majapahit. Bentuk denah kolam empat persegi panjang berukuran panjang 375M, lebar 125M. Dinding kolam setinggi 3,6 M sementara lebarnya 1,6 M. Bahan bangunan kolam terbuat dari Bata yg direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pad bagian barat laut terdpat saluran pembuangan air.




Menurut cerita rakyat pada masa kejayaan Majapahit, Kolam Segaran digunakan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Diceritakan apabila pejamuan telah usai, maka peralatan perjamuan seperti piring, mangkuk, dan sendok yg terbuat dari emas dibuang di kolam untuk menunjukkan betapa kayanya kerajaan Majapahit. Sebagian peneliti lain menyebutkan segaran sebagai penambah kelembapan / kesejukan udara kota Majapahit.


Religi & Kesusasteraan

Kehidupan religius pada masa Majapahit telah memberikan andil yg besar dalam perkembangan peradaban manusia Majapahit. Semuanya itu terekam dan tersurat dalam karya” sastra yg sangat indah dan bermutu diantaranya seperti Kakimpoi Negarakertagama, arjunawiwaha, Sutasoma, Lubhaka, Writasancaya dan Kunjakarna.


Peraturan Pada Masa Majapahit

Untuk mengatur kehidupan rakyatnya, kerajaan Majapahit telah memiliki sejumlah peraturan yg terkumpul dalam kitab perundang”an. Kitab tsb berisi baik tentang hukum pidana maupun perdata. Peraturan tersebut berlaku bagi setiap orang.


Teknologi dan Kesenian Masa Majapahit

Keagungan karya arsitekturural masa Majapahit yang dapat disaksikan kini tidak lain merupakan cerminan dari kemampuan mewujudkan simbol dan spirit religius dewa-raja melalui peradaban keunggulan teknologi rancang bangun dan kesenian. Sosoknya hadir dalam percandian yang dipersembahkan sebagai pendharmaan bagi raja, titisan sang dewa yang mangkat.


Struktur Pemerintahan

Sebagai kerajaan yg besar, Majapahit mempunyai aparat pemerintahan yg lengkap. Raja mempunyai banyak pembantu sebagai pelaksana. Hierarkhi pemerintahan kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut;
1.Raja: merupakan pemegang pucuk pimpinan kerajaan.
2. Yuwara/Kumararaja: jabatan yg diduduki oleh putra/putri raja.
3. Rakyan Mahamantri Katrini: Dewan yg bertugas melaksanakan politik negara.
4. Rakyan Mahmantri ri pakiran”: dewan ini juga melaksanakan politik negara.
5. Dharmadyaksa : merupakan kepala bidang keagamaan
6. Dharmopapati; merupakan dewan yg juga mengurusi keagamaan





Pusat Informasi Majapahit

Koleksi Museum
Sesuai dengan sejarahnya, koleksi pusat Informasi Majapahit didominasi oleh benda cagar budaya peninggalan Majapahit. Melalui peninggalan tersebut dapat beberapa aspek budaya Majapahit dapat dikaji lebih lanjut, seperti bidang pertanian, irigasi, arsitektur, perdagangan, perindustrian, agama dan kesenian. Keseluruhan koleksi tersebut ditata di gedung, pendopo maupun halaman museum. Berdasarkan bahannya koleksi Museum Trowulan yg dipamerkan dapat diklarifikasikan menjadi beberapa kelompok.


1.Koleksi Tanah Liat (Terakota)

a.Koleksi Terakota Manusia
b.Alat” Produksi
c.Alat” Rumah Tangga
d.Arsitektur


2.Koleksi Keramik

yg dimiliki oleh Pusat Informasi Majapahit berasal dari beberapa negara asing seperti Cina, Thailand & Vietnam. Keramik” tersebutpun memiliki berbagai bentuk dan fungsi, seperti guci,teko, piring, mangkuk, sendok dan vas bunga.

3. Koleksi Logam

Koleksi Benda cagar budaya berbahan logam, seperti koleksi mata uang kuno, koleksi alat” upacara seperti bokor, pedupaann, lampu cermin, guci dan genta dan koleksi alat musik.


4. Koleksi Batu

Koleksi miniatur, dan komponen candi candi koleksi arca. koleksi relief, koleksi prasasti.


Berbagai Koleksi Museum





Sumber : http://www.salamnusantara.com/2011/06/25/m-a-j-a-p-a-h-i-t/

Selasa, 15 November 2011

Songket Antik Jaman Sriwijaya



Jupitter  News _ Songket sudah menjadi ikon Sumsel,khususnya Kota Palembang. Bila dikenal lebih dalam, songket tidak cuma merupakan hasil karya seni yang tinggi,tetapi juga mengandung makna budaya yang mendalam. Terlebih lagi, songket yang merupakan hasil tenun yang masih menggunakan alat tradisional dan merupakan buah tangan wanita yang berusia ratusan tahun, songket juga bernilai sejarah tinggi.Salah satu songket yang bernilai tinggi adalah songket antik jenis lepus yang merupakan peninggalan zaman kerajaan Sriwijaya yang sarat dengan nilai seni dan sejarah yang tinggi.

Memiliki nilai sejarah yang tinggi, lantaran pembuatannya memakan waktu sampai bertahun-tahun dan lebih uniknya lagi songket ini berumur mencapai 250 tahun.Seperti diungkapkan Hj Eka Rachman selaku kolektor songket antik sekaligus pemilik toko Pesona Bari Songket, saat ditemui wartawan TOP di kediamannya toko Pesona Bari Songket Jl Kapt Cek Syech 34 Rt 01/24 ilir (Depan SDN 4) Palembang. Menurutnya, mengoleksi dan berbisnis songket mempunyai kepuasan dan keunikan tersendiri, apalagi bila dilihat mulai dari segi pembuatan yang menggunakan bahan dari benang emas dan kain sutra berkualitas tinggi pada zamannya, serta sejarahnya yang sudah turun temurun. Pada zaman Sriwijaya yang sudah memasuki abad ke-9, para pembuat songket dominan wanita yang belum menikah dan pembuatannya pun dimulai dari usia 12 tahun, sebab pada zaman itu para wanita yang ingin menikah harus membuat songket sendiri untuk pakaian yang dikenakan pada pernikahannya. “Pengerjaan songket ini juga bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun untuk satu songketnya, sebab wanita pada zaman itu kegiatannya hanya membuat songket karena memang pada zaman itu belum ada fasilitas seperti zaman sekarang sehingga kegiatan para wanita pada zaman itu hanya membuat songket,” urainya.

Uniknya lagi, Eka menambahkan, bukan hanya dari kalangan wanita biasa yang membuat songket pada zaman Sriwijaya, tetapi dari kalangan wanita keturunan bangsawan pun ikut membuat tenun sendiri untuk pernikahannya. Sedangkan yang membedakannya dari alat tenun yang biasa digunakan oleh kaum bangsawan adalah karena alat tenunnya terbuat dari ukiran kayu. “Pembuatan songket pun tidak sembarangan karena dibutuhkan ketenang dan berjiwa seni tinggi sehingga menghasilkan songket yang sarat dengan nilai seni tinggi dan tingkat kerapian dari songket itu sendiri,” urai ibu dari Saira, Carisa, Bela, dan Fattahila ini. Pemilik Pesona Bari Songket ini menjelaskan,selain mengoleksi dan menjual songket antik turun temurun dari tahun 1952 sampai sekarang, dia juga menjual songket hasil tenun sendiri dan bisnis ini pun sudah digelutinya sejak tahun 1990 dengan menjual berbagai jenis songket, seperti songket lepus, tretesmider, janda berias, bunga cina, bunga inten, bunga pacik dan bunga jepang serta pernak pernik yang berbahan songket. “Alhamdulillah, kita sudah memasarkannya hingga ke mancanegara. Karena bisnis dan koleksi kita yang melestarikan songket, kita juga pernah mendapat penghargaan dari presiden dengan kategori usaha pelestarian budaya dan pengbdian budaya Indonesia,”tutupnya.



Sumber : http://top.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50:songket-zaman-kerajaan-sriwijaya&catid=44:unik&Itemid=63

Rabu, 20 Juli 2011

9 Mahluk Mitologi Asli Indonesia

Jupitter NewsNahhh di postingan kali ini Jupi mua mengajak teman - teman semua melirik tentang mahluk - mahluk Mitologi yang asal nya asli dari Negara kita Republik Indonesia...thuuuu Bangga kan kita sebagai warga negara NKRI...berarti bukan hanya negara - negara lain saja yang mempunyai sejarah penting. Dan di samping itu juga Negara kita kaya akan Budaya,keaneka ragaman bahasa dan adat istiadat juga berbagai suku dan sosial budaya...nahhh untuk itu mari ikut Jupi melihat keaneka ragaman tersebut salah satunya Mahluk - mahluk Mitologi tadi....Yuuuukkkkk.....

 
1. Orang Pendek

Orang Pendek adalah hewan kriptid asal Pulau Sumatera dan telah dikenal sejak 100 tahun lalu oleh penghuni hutan, penduduk, kolonis belanda dan ilmuwan. Penelitian menyebutkan bahwa orang pendek adalah primata berjalan yang memiliki sekitar 80 cm dan 150 cm.



2. Lembuswana

Makhluk Mitologi ini sering dijadikan simbol dalam kerajaan2 jaman dulu seperti Mulawarman, dan di Cungkup Sunan Prapen. Lembuswana adalah hewan dengan kepala berbentuk gajah yang menggunakan mahkota yang memiliki sepasang sayap dan di keempat kakinya terdapat cula/taji (red: seperti ayam). Masih menurut mitos penduduk sekitar sungai Mahakam, Lembuswana adalah penguasa sungai Mahakam yang tinggal dan bernaung di dasar sungai Mahakam.



3. Orang Bati

Orang Bati adalah hewan yang berada di legenda Pulau Seram. Hewan ini memiliki tubuh seperti manusia dan bersayap seperti kelelawar. Diceritakan bahwa ia tinggal di gunung Kairatu dan suka menculik anak kecil untuk disantap.




4. Naga Besukih

Naga Besukih adalah naga yang diceritakan dalam asal-usul selat Bali. Dalam cerita, Naga ini dapat dipanggil menggunakan genta pemujaan milik Begawan Sidi Mantra. Juga diceritakan bahwa ia dapat mengeluarkan emas dan permata dari dalam sisiknya.





5. Garuda

Garuda adalah salah satu dewa dalam agama Hindu dan Buddha. Ia merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu. Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari.




6. Ahool

Ahool adalah hewan seperti kelelawar raksasa atau beberapa menyebutkan seekor Pterodactil yang tinggal di hutan di Pulau Jawa. Beberapa informasi mengatakan bahwa Ahool memiliki panjang sayap sekitar 3 meter. Pertama kali dijelaskan bahwa ia terlihat di gunung Salak.





7. Veo

Veo adalah hewan kriptid asal pulau Rinca dan digambarkan oleh Carl Shuker dalam buku The Beasts That Hide from Man: Seeking the World’s Last Undiscovered Animals mirip Teringgiling tapi ukurannya sebesar kuda.




8. Ebu Gogo

Ebu Gogo adalah makhluk seperti manusia yang muncul pada mitologi penduduk pulau Flores, Indonesia, yang memiliki bentuk yang mirip dengan leprechaun atau peri. “Orang kecil” tersebut dikatakan memiliki tinggi satu meter, ditutupi rambut, periuk-berperut, dan dengan telinga yang menjulur. Mereka berjalan agak kikuk dan sering “berbisik” yang dikatakan sebagai bahasa mereka. Penduduk pulau juga berkata bahwa Ebu Gogo dapat mengulangi apa yang mereka katakan.




9. Warak Ngendog

Warak Ngendog adalah hewan mitos yang digambarkan seekor badak membawa telur di punggungnya. Bagian-bagian tubuhnya terdiri dari Naga (Cina), Buraq (Arab) dan Kambing (Jawa). Biasanya dijadikan maskot dalam acara Dugderan yang dilaksanakan beberapa hari sebelum bulan puasa.






Sumber : http://www.salamnusantara.com/2011/07/01/9-makhluk-mitologi-asli-indonesia/

Senin, 11 April 2011

Shadow

Jupitter News _ In an attempt to immerse myself a little more in Javanese culture, which I find a tad… dull, on Saturday night I attended my first proper, Javanese wayang performance. Technically, I had seen such a show in Kalimantan, but was informed by many a person that wasn’t a real one, for being outside of Java and all.


1
 Javanese attire, it’s a step above shorts and a t-shirt.

The first thing I noticed, this wasnt a wayang kulit, probably the best known kind. I was expecting a shadow play, with the characters projected onto the screen, the dalang (puppet master) and gamelan orchestra hidden from view, and the audience in front. However, this was actually a wayang kelitik. The performers had their backs to the audience, and the flat, wooden puppets manipulated by the dalang were visable, not just shadows.

2
 You’ll be sure to see me rocking one of these headpieces around Adelaide later this year.

The theme of the night was “dosenku, dalangku”, the idea being that various lecturers from UGM would be performing the puppet master role, manipulating the figures and narrating the story. After I arrived an hour late, the second story had just started, with a lecturer from Fakultas Teknik Mesin ndalang.

3
Wayang, in all its time-consuming glory.

I assumed that wayang performances generally depict stories from Hindu epics, but in this case, the story was about a deer who wants to be a tiger, is attacked by cigarettes and a bra, amongst other things, and eventually dies trapped in the skeleton of the tiger, having fallen in while mocking the corpse. It was pretty good, punctuated by bits of pop culture, and everyone seemed to get into it. One thing I didn’t realise going in was that it would be in Javanese, though it seems obvious in hindsight. Luckily, I was with Yoesman, probably the most fluent Javanese speaker I know, so I did get the story translated as it was going along. My Javanese is not quite at the level to appreciate this… yet.

4
While others are given but one drum to beat, this poor fellow was burdened with more than just a handful.

Before the next performance, there was a speech by current Minister of Education, Bambang Soedibyo, thankfully in Indonesian, about keeping the culture alive with the use of technology. Technically, ol’ Bambang and I are neighbours; he lives on my street, when he isn’t living the sweet life of a rich male in Jakarta. The closest I’ve come to him is asking permission of his guards to continue driving as I whip past by bike (so Javanese).

5
One of Bambang’s minions, puckering up to kiss his ring… I’m hoping.

Next, a dosen from Fakultas Ilmu Budaya, my nominal former faculty, stepped up to the plate. This show was everything I dislike about Javanese culture. First, he spoke in krama inggil, the highest level of Javanese, used mainly in the Sultan’s palace. As a result, few in the audience, including my translator, could understand without difficulty. Second, he decided to depict some obscure aspect of a Hindu epic, with a meeting of the Gods about some unknown problem. Third, for the first THIRTY minutes, the half dozen characters just sat there, their arms slightly moving to indicate the speaker. Finally, while the first play used the gamelan music to good effect, this one just went back and forth from a loud mess of competing gongs to absolute silence, to the point where I actually saw one of the musicians fall asleep at his sitar.

6
The long-haired gentleman below the big red drum buckled in the middle and nodded off more than a couple of times.

At this point, the audience, previously hitting about 250 at peak, was reduced to about 75 or less, mainly older Javanese men, donning Batik and Peci. It was kind of a shame really, UGM obviously went to a lot of trouble to put this shindig on, with free drinks (including ginger tea, awesome), bananas, and peanuts. The gamelan set and stage was impressive, with hundreds of gongs and puppets, various Javanese instruments, and a choir of elaborately dressed women. That it could draw so few attendees makes me think that Pak Soedibyo had a point indeed.

7
Considering how long she had been sitting there essentially motionless, and with the prospect of many more hours to come, this women was amazingly cheerful.




Sumber : http://durianraksasa.wordpress.com/

Jumat, 18 Maret 2011

Sejarah Batik Indonesia

                        Jupitter News _ Indonesia is a beautiful country consisting of more than 17,000 islands, the vast Indonesian archipelago spans 5,120 km across the equator, positioned between the Asian and Australian continents.  Four-fifths of the area is sea with the major islands of Sumatera, Java, Kalimantan, Sulawesi and Papua.  The 300 ethnic groups that exist harmoniously give birth to a potpourri of cultures and fascinating people.  The major ethnic groups are: Minangkabaunese, Malay, Javanese, Sundanese, Maduranese and Ambonnese.  Arab, Chinese and Indian immigrants have also settled in regions throughout the country, particularly in the coastal cities.

    show-the-batik.jpg                    

Geographically, Indonesia’s landscape is greatly varied.  Java and Bali have the most fertile islands and rice fields are concentrated in these two regions, whereas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku and Papua are still largely covered with tropical rainforest.  Open savannah and grassland characterize Nusa Tenggara.

                        The lowland that comprise most of Indonesia has a characteristically tropical climate with abundant rainfall, high-temperatures and humidity.  Rainy Indonesia’s tropical climate and unique geographical character provide shelter for flora and fauna that are as diversely rich as its land and people.  The plant and animals in Indonesia’s western region represent that of mainland Asia while those in the eastern region are typical of Australia.  Endemic species, which are the pride of Indonesia exist in the central region, such as orangutans, tigers, one-horned rhinos, elephants, dugongs, anoas and komodo dragons.  The warm tropical waters of the archipelago nurture a rich marine environment that holds a myriad of fish, coral species and marine mammals.
                       A cultural heritage passed on through generations offers a wealth of traditional arts and crafts.  Batik, wooden carvings, weavings, silverworks and many other traditional skills produce exquisitely beautiful items.  Indonesia’s multi-racial and multi-religious culture mean festivals steeped in traditions are celebrated throughout the year.  Frequently featured in these events are dances, theaters and other performing arts.
                       Here i am will pleasent to introduce you one of many the cultural heritage that we called Batik that lately our neighbour country Malaysia was claimed Batik is from Malaysia! But Wait.. STOP here… it was wrong! Malaysia can claimed it but the Trully BATIK is from INDONESIA.
                      Here some of beautiful trdaitional Batik, when every batik tells the story…..


ibu-tua-pecanting-batik.jpg   pekerja-batik.jpg   starter-kit-batik-tulis.jpg   traditional-textile-batik-textile04.jpg    kainbatik.jpg  

(created by Damayanti Purba)
Although the process of decorating cloth through the process of batik is found in several regions in Africa or India and even in some South East Asian countries, the batik of Indonesia is unique and unequaled.
Indonesian Batik is made in several regions, but the center of the art is Central Java, in cities like Yogyakarta, Solo, Cirebon, Pekalongan and Indramayu.
The pride of Indonesians to wear batik till the present day has preserve this art of textile.

The beauty of Batik is a tribute to the patience, creativity of the woman of Java, the main island of Indonesia. Credit should be also given to men who prepare the cloth and handle the dyeing and finishing process.
Batik is generally thought of as the most quintessentially Indonesian textile. Motifs of flowers, twinning plants, leaves buds, flowers, birds, butterflies, fish, insects and geometric forms are rich in symbolic association and variety; there are about three thousand recorded batik patterns.

The patterns to be dyed into the the clothe are drawn with a canting, a wooden ‘pen’ fitted with a reservoir for hot, liquid wax. In batik workshops, circles of women sit working at clothes draped over frames, and periodically replenish their supply of wax by dipping their canting into a central vat. Some draw directly on the the cloth from memory; others wax over faint charcoal lines. (Taken by Nebu Sauyun)


ny13.jpg
                                                                                              

Sejarah Batik Indonesia

ny29.jpg Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.                                                                                              Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

ny17.jpg                                                                                          Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.                               

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur. 

Jaman Majapahit
ny22.jpg

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. 

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

Perkembangan Batik di Kota-kota lain

Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.

Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.

Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.

Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.

+Pembatikan di Jakarta

Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan didaerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar didekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.
Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat disekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.
Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.

Pembatikan di Luar Jawa

Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.
Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramajunan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi dipulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.


                                                                                     




Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://yfred.files.wordpress.com/2008/02/ibu-tua-pecanting-batik.jpg&imgrefurl=http://yfred.wordpress.com/
http://jupitterpandawa.blogspot.com/

Silahkan masukan comentar anda

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...