Jupitter News _ Kedua mata Oppu Joy Siahaan (46) berkaca-kaca. Tampak air mata tertahan di kelopaknya. Ia berusaha tegar sambil memandang ke arah dua bocah yang berjalan terbata-bata mengangkat keranjang batu yang berat. Kedua anak kelas 1 SD itu adalah yatim-piatu yang diasuhnya sebagai anak angkat.
“Kasihan mereka, tak punya orangtua lagi,” ucap janda beranak satu dan bercucu satu ini ketika ditemui BatakNews beberapa waktu lalu. Di bawah panas terik matahari di Desa Lumban Silintong, Kecamatan Balige, Kabupaten Tobasa, abang-beradik Henolix Siahaan (7) dan Revelita Siahaan (6) sibuk mengumpulkan batu yang sudah selesai dipecah Oppu Joy.
Revelita, si adik perempuan, tampak memaksakan diri mengangkat sekeranjang batu sirtu. Pahanya secara bergantian ikut menopang keranjang sambil bergerak selangkah demi selangkah. Abangnya yang lebih kuat menjadikan perut untuk menopang keranjang. Ia bisa berjalan lebih cepat dari sang adik.
Mereka terlihat sangat serius dan terfokus pada pekerjaan berat itu. Selama satu jam BatakNews memerhatikan mereka tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka — sungguh tidak sepatah kata. Bahkan mereka tidak sekalipun tersenyum atau saling bercanda. “Mereka sudah trauma. Mereka juga masih sedih karena ayah dan ibunya meninggal,” kata Oppu Joy.
“Lihatlah bekas luka di kaki Henolix,” ia bercerita. “Dulu mereka disiksa oleh …,” ia menyebut dua kerabat dekat anak malang itu.
Melihat penderitaan merekalah maka Oppu Joy mengadopsi keduanya. Memang ada orang lain dan pengurus gereja yang berniat mengadopsi mereka, namun dia tidak memberikan. “Meski harus menahan panas memecah batu, saya masih mampu memberi mereka makan dan sekolah.”
Henolix dan Revelita pun tahu diri. Mereka tumbuh jadi anak yang mandiri. Kecuali Minggu, saban hari sepulang sekolah mereka membantu Oppu Joy — tante yang kini menjadi orangtua mereka. Wanita ini sendiri sudah 40 tahun bekerja sebagai pemecah batu. Sejak kelas 1 SD ia sudah melakukannya, karena ibunya pun bekerja memecah batu.
Panasnya sengatan matahari dan kotornya debu beterbangan tak jadi masalah baginya. Yang kadang membuatnya kesal adalah para toke panglong dan kontraktor yang tega menawar batunya dengan harga murah.
Misalnya batu ukuran kepalan tangan orang dewasa atau biasa disebut batu sirtu seharusnya dijual Rp 50 ribu per meter kubik, tapi ditawar Rp 35 ribu. Batu cor yang seharusnya Rp 80 ribu dibeli Rp 60 ribu. Yang paling kecil, batu split, selayaknya Rp 90 ribu namun masih ditawar Rp 70 ribu.
Harga ini sungguh tidak sepadan. Oppu Joy dan juga sekitar 10 pemecah batu di Lumban Silintong menghabiskan waktu satu minggu untuk menghasilkan satu meter kubik batu. Mulai mencongkel batu dengan linggis hingga memecahnya dengan palu.
Tapi masih ada pembeli yang tak berperasaan berkata: “Sudahlah, harga segitu sudah pantas, kalian kan hanya bermodal tenaga.”
Ia juga mengeluhkan sebuah proyek pembangunan jalan oleh pemerintah setempat di Lumban Silintong tahun lalu yang tidak memakai batu-batu dari Oppu Joy atau rekan-rekannya. Batu untuk proyek itu malah dibeli kontraktor jauh-jauh dari Dolok Sanggul, Kabupaten Humbahas. Jarangnya pembeli plus harga tawar yang miring membuat para pemecah batu di Lumban Silintong tidak bisa sepakat memasang harga. “Akhirnya kami berani jual murah, daripada tidak laku. Sementara kami butuh makan.”
Punya harapan kepada pemkab? “Sebenarnya saya pesimis. Tapi kalau mereka mau mendengarkan, tolonglah kami diberi bantuan dana. Saya dengar usaha-usaha kecil seperti pedagang dan pengrajin dapat bantuan begitu.”
Benar juga ya, daripada seperti diberitakan media belakangan: kasih kredit ratusan juta kepada setiap koperasi — dan beberapa ternyata fiktif — yang hasilnya cuma tunggakan miliaran rupiah...
Semoga sekelumit cerita ini BISA menjadi RENUNGAN bagi kita semua..BAHWA masih banyak saudara - saudara kita yang MEMERLUKAN ULURAN TANGAN kita...Ok sampai jumpa lagi sama Jupi pada Articel berikutnya...
Sumber : http://bataknews.wordpress.com/2007/03/22/danau-toba/