Jupitter News _ Saya biasa memanggilnya Pak Ci. Panggilan tersebut terlontar saja dari mulut saya karena terasa pas didengar dan cocok bila melihat perawakan beliau yang sudah memasuki umur 50 tahun. Dengan rambut yang sudah memutih, tubuh tegap, berewokan dan tubuh penuh tato maka orang akan berpikir macam-macam tentang beliau. Sepanjang hidupnya beliau selalu dekat dengan dunia preman tapi beberapa tahun ini aktifitasnya sudah mulai berkurang.
Hampir 6 tahun saya berkenalan dengan beliau. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari kehidupan beliau walaupun awalnya menjaga jarak dan kuatir karena hampir selalu berdekatan dengan dunia kekerasan. Tetapi lama kelamaan saya merasa kehidupan beliau sama saja dengan kehidupan orang-orang pada umumnya.
Kemarin beliau berkunjung ke rumah saya. Ada beberapa kisah kehidupan beliau yang menarik perhatian saya. Beliau menceritakan awal-awal perkenalannya dengan dunia preman. Berikut adalah pengakuannya.
Sejak kecil saya telah kehilangan figur seorang ayah. Ayah saya, seorang tentara yang selalu meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama karena tugas kemana-mana. Saat saya duduk di sekolah dasar kelas 3, ayah tidak pernah lagi pulang ke rumah kami di Surabaya.
Ternyata baru saya mengetahuinya setelah ibu bercerita kalau ayah telah menikah lagi dengan wanita asal Madura pada saat dinas di Kalimantan Barat. Sejak itu ayah tidak pernah memberikan nafkah kepada kami dan timbullah rasa dendam saya terhadap wanita-wanita Madura walaupun sebetulnya saya masih keturunan Madura (kakek dari Bapak berasal dari Madura)
Akhirnya ibu memutuskan untuk kembali tinggal di rumah warisan orang tuanya. Tetapi masalahnya adalah di rumah itu tinggal beberapa keluarga (adik-adik ibu) sehingga kami hanya menempati sebuah kamar kecil yang posisinya persis di belakang rumah. Walaupun ibu merupakan anak sulung tetapi ibu selalu mengalah dengan alasan untuk menghindari terjadinya keributan di dalam keluarga besar.
Sayangnya adik-adik ibu tidak pernah mau mengerti dan selalu merasa sebagai yang punya hak atas rumah warisan tersebut. Memang rumah warisan tersebut besar sekali yaitu rumah tua peninggalan jaman Belanda yang kokoh dengan banyak kamar.
Di Sekolah saya selalu merasa iri bila melihat sepupu dan teman-teman jajan di sekolah. Sementara saya hanya diam dan menahan lapar saat istirahat sekolah karena ibu tidak bisa memberikan uang jajan.
Apalagi pada saat pelajaran olah raga, setelah selesai olahraga teman-teman bisa jajan di kantin untuk membeli minuman ringan. Sementara saya hanya bisa minum air keran untuk melepaskan dahaga. Hal itulah yang membuat saya dendam dan berkata dalam hati kalau saya harus punya uang dan bosan menjadi orang miskin.
Suatu hari saya melihat ibu menangis di dalam kamar sewaktu saya pulang sekolah. Ada apakah gerangan pikir saya. Setelah saya bertanya kepada adik, saya mengetahui kalau ibu habis dimarahi habis-habisan oleh paman karena adik berkelahi dengan anak paman dan menyebabkan hidung anak paman berdarah.
Paman mengancam akan mengusir dari rumah warisan tersebut apabila ibu tidak bisa mendidik adik. Padahal menurut pengakuan adik diketahui kalau anak paman selalu membuat ulah dan mengambil barang-barang milik adik.
Kejadian tersebut membuat dendam saya menjadi-jadi, akhirnya saya menemui ibu di dalam kamarnya dan langsung saya mencium kakinya sambil berkata, ” Bu, mulai saat ini saya akan keluar rumah. Bila Ibu tidak menyetujui maka saya ikhlas bila ibu tidak mengakui saya sebagai anak ibu karena pembangkangan saya. Tapi saya tetap akan berkunjung ke rumah ini untuk menemui ibu untuk meminta doa restu ibu “
Sejak saat itu saya meninggalkan rumah dan memantapkan diri untuk mandiri. Waktu itu saya berumur 12 tahun dan sempat merasa takut dan kuatir tentang apa yang terjadi dengan diri saya. Apa sich yang biosa dilakukan oleh anak berumur tersebut. Tetapi tekad tetaplah tekad.
Tanpa diduga saya bertemu dengan teman ayah. Beliau bekerja sebagai tukang parkir di lokalisasi Dolly Surabaya. Dengan sedikit memelas, saya meminta kepada beliau untuk bisa bekerja sebagai tukang parkir kepada beliau. Walaupun sempat menolak, akhir beliau memberikan pekerjaan tersebut di salah satu tempat di lokalisasi tersebut.
Selama 2 tahun saya mencari uang sebagai tukang parkir. Menurut saya lumayanlah karena saya punya penghasilan dan bisa membantu biaya sekolah adik walaupun tidak seberapa bantuan saya tersebut. Sampai suatu saat saya berkenalan dengan kepala preman di lokalisasi Dolly. Saya sempat menyatakan ingin bergabung dengan kumpulan mereka tetapi selalu ditolak dengan alasan saya masih kecil. Tetapi saya tidak pantang menyerah. Sesekali saya memperhatikan cara kerja para preman.
Ada satu peristiwa yang membuat perjalanan hidup saya berubah. Ada langganan PSK di lokalisasi yang berbuat ulah yaitu saat mabuk merusak barang-barang dan selalu tidak mau bayar setelah menggunakan layanan PSK. Tidak ada yang berani menegur langganan tersebut termasuk para preman.
Ternyata pelanggan tersebut adalah oknum angkatan. Kepala preman sempat dibuat pusing dibuatnya. Tidak tahu ada jin apa yang masuk ke diri saya akhinya saya memberanikan diri bicara dengan kepala preman dan sanggup menangani pelanggan tersebut.
Seluruh preman menertawakan saya. Anak kecil seperti saya sok belagu mau melawan pelanggan tersebut. Apa saya tidak takut mati. Saya anggap angin lalu tertawaan mereka dan yakin sanggup menangani ulah pelanggan tersebut. Kepala preman sempat merasa heran dan kaget apakah saya bisa. Saya katakan bisa asal dengan cara saya. Akhirnya kepala preman menyetujui dan berjanji kalau ini berhasil maka saya boleh menjadi anggota preman dan diberikan jatah lahan. Saya bilang ok kepadanya.
Seminggu terus berlalu tetapi tidak ada tindakan apapun terhadap oknum angkatan tersebut. Kepala preman mulai meragukan kemampuan saya. Tepat 10 hari, saya berhasil menaklukkan oknum tersebut. Bagaimanakah caranya?
Sumber : http://baltyra.com/2011/02/24/kisah-seorang-preman-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar