Jupitter News _ Kamar tidur adalah ruang yang paling pribadi. Seperti apakah kamar
tidur Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Ir. Sukarno?
Mestinya, sebagai ruang pribadi, yang tahu hanya Sukarno, istri, dan
anak-anaknya. Akan tetapi tahukah Anda, bahwa sejak tahun 1953, Sukarno
praktis tak lagi didampingi Fatmawati?
Ibu Negara yang dinikahi saat berusia 19 tahun itu, memilih keluar
dari Istana dan tinggal di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
demi mengetahui dirinya dimadu. Ya, demi mengetahui Sukarno menikahi
Hartini, si cantik pembuat sayur lodeh paling enak menurut lidah Bung
Karno. Hartini –setelah dinikahi– kemudian tinggal di sebuah paviliun
kecil di lingkungan Istana Bogor.
Praktis, sejak tahun 1953, Bung Karno tidak ditemani seorang wanita
pun di Istana Negara Jakarta. Itu artinya, ia melewati malam-malam di
Istana Negara dalam kesendirian. Dalam imaji yang lain, kita bisa
membayangkan sebuah kamar “bujangan”.
Terbiasa hidup sendiri selama di Jakarta, membuat lambat laun, kamar
tidurnya tidak lagi “sakral”. Tak jarang ia mengundang dan mengajak
menteri tertentu, atau orang dekat tertentu berbicara empat mata di
kamar. Bahkan, sesekali ia menyuruh ajudan mengajak tamunya masuk kamar
untuk sekadar diajarkan bagaimana memakai dasi dubbel knoop (lipatan ganda).
Nah, salah seorang menteri, pembantu presiden, yang pernah merasakan
dipanggil dan diajak berbicara persoalan penting dan rahasia berdua di
kamar Bung Karno adalah Oei Tjoe Tat. Jabatannya adalah Menteri Negara
Diperbantukan Presidium Kabinet Kerja antara tahun 1963-1966. Ruang
lingkup pekerjaan Oei Tjoe Tat yang tokoh Partindo ini cukup luas,
karena harus berkoordinasi dengan tiga Wakil Perdana Menteri sekaligus:
Soebandrio, J. Leimena, dan Chaerul Saleh.
Kembali ke topik kamar tidur Sukarno. Adalah Oei Tjoe Tat, satu dari
sedikit manusia beruntung yang pernah melihat dengan mata kepala
sendiri, rupa kamar tidur presidennya. Dia sendiri merasa sangat surprise
diperlakukan begitu akrab oleh Sukarno. Di sisi lain, ia tidak
melupakan jasa Menko Keuangan, Soemarno SH yang telah memberinya tips
menghadapi Bung Karno.
Beberapa tips yang ia terima dari seniornya di kabinet itu antara
lain, minimal sekali dalam seminggu harus setor muka, alias datang dan
ikut agenda coffie uurtje (acara minum kopi pagi) yang rutin
diadakan Presiden di serambi belakang Istana. Sekalipun begitu, tidak
boleh terlalu sering menampakkan muka. Tips menghadapi Bung Karno
lainnya adalah, jangan menyampaikan laporan sepenting apa pun, manakala
Bung Karno tampak letih atau berwajah murung. Tips terakhir, jangan
melaporkan keburukan menteri lain.
Dengan berbekal aneka tips tadi, singkat tutur, Oei Tjoe Tat
terbilang sukses menjadi orang dekat Bung Karno. Karenanya, ia hafal
betul kebiasaan-kebiasaan Bung Karno saat koffie uurtje, yang
hanya mengenakan pantalon tua dan kaos oblong serta bersandal kulit.
Pada saat itulah, sejumlah menteri hadir, ada kalanya juga dihadiri
sejumlah duta besar negara sahabat, bahkan tak jarang menerima rakyat
jelata dari sudut nun jauh Tanah Air yang rela menempuh jarak ribuan
mil, menempuh waktu puluhan hari, untuk sekadar menjumpai presidennya.
Ada kalanya, di acara informal seperti itu, Bung Karno membuat
keputusan-keputusan penting. Ada kalanya pula, hanya berbincang intim
diseling kelakar segar. Dan, untuk persoalan yang lebih serius dan
bersifat rahasia, tak jarang Bung Karno mengajak masuk pejabat
bersangkutan ke kamar tidurnya, dan melanjutkan pembicaraan di sana.
Oei Tjoe Tat beberapa kali diajak masuk kamar tidur Bung Karno, dan
dalam kesempatan itu pula ia tidak hanya melongok, tetapi dapat
memelototi seisi kamar orang nomor satu di Republik Indonesia. Di dalam
kamar, hanya ada dia dan Bung Karno. Dia duduk di ranjang Presiden
sambil menyampaikan laporan penting dan rahasia, sementara Bung Karno
mendengarkan. Ada kalanya, ia mendengar laporan Tjoe Tat sambil
mencukur jenggot, jambang, dan kumis yang bertunas, di depan kaca.
Dalam suasana seperti itu, kepada menteri yang keturunan Tionghoa
kelahiran Solo itu, Bung Karno akan mengubah bahasa percakapan menjadi
bahasa Jawa ngoko bercampur Belanda. Bung Karno pun memanggil namanya dengan panggilan “Tjoe Tat” saja.
Kesan pertama saat masuk kamar tidur Bung Karno, terwakili hanya dengan satu kata: Berantakan!
Menurut Tjoe Tat, separuh dari ranjang Presiden, berisi buku-buku
yang berserak tak beraturan. Bukan hanya itu, bahkan di lantai pun ia
melihat buku-buku berserakan. Pada cantelan baju di dinding, tergantung
jas-jas dan pantalon-pantalon sangat tidak beraturan.
“Tidak rapi, dan tidak terawat,” suara batin Tjoe Tat mengomentari kamar Bung Karno. (roso daras)
Sumber : http://rosodaras.wordpress.com/2009/08/30/melongok-kamar-tidur-bung-karno/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar